Senin, 17 Oktober 2011

SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH


MAKALAH
SEJARAH PERADABAN ISLAM
SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASYARIYAH

Dosen pengampu:
M. Mukhlis Fahruddin, M,Si

Disusun
Oleh:
HERI PURNOMO
08620038

                                         


 






JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2011

A. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli. Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.[1]
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.[2]
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sejak kecil ia berguru pada syech Al-Jubba’i seorang tokoh mu’tazilah yang sangat terkenal. Ia adalah murid yang cerdas dan ia menjadi kebanggaan gurunya dan seringkali ia mewakili gurunya untuk acara bedah ilmu dan diskusi. Dengan ilmu ke-mu’tazilahannya, ia gencar menyebar luaskan paham mu’tazilah dengan karya-karya tulisnya. Karena tidak sepaham dengan gurunya dan ketidak puasannya terhadap aliran Mu’tazilah, walaupun ia sudah menganut paham Mu’tazilah selama 40 tahun, maka ia membentuk aliran yang dikenal dengan namanya sendiri pada tahun 300 Hijriyah.[3]
Ketidak-puasan Al-Asy’ari terhadap aliran Mu’tazilah diantaranya adalah :
1. Karena adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ari yang mendorongnya untuk keluar dari paham Mu’tazilah. Menurut Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah, misalnya syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.
2. Menurut Hammudah Ghurabah, ajaran-ajaran yang diperoleh dari Al-Juba’i, menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan, misalnya tentang mukmin, kafir dan anak kecil.[4]
Puncak perselisihan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dalam masalah keadilan Tuhan adalah ketika Mu’tazilah tidak mampu menjawab kritik yang dilontarkan Asy’ariyah, bahwa jika keadilan mencakup iktiar, baik dan buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan dengan tujuan-tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-Esaan tindakan Tuhan (Tauhid fil Af’al) bahkan bertentang dengan ke-Esaan Tuhan itu sendiri. Karena ikhtiar menurut Mu’tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari Dzat-Nya. Dalam pandangan Asy’ariyah, Tuhan itu adil, sedangkan pandangan Mu’tazilah standar adil dan tidak adil dalam pandangan manusia untuk menghukumi Tuhan, sebab segala sesuatu yang bekenaan dengan kebaikan manusia hukumnya wajib bagi Allah. Tetapi bagaimanapun Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah ketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah Al-Mutawakkil membatalkan putusan Al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai madzhab Negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah Al-Mutawakkil mengunjukan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn Hanbal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.
Dalam suasana demikianlah Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits. Disini timbul pertanyaan, apakah tidak mungkin bahwa Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah karena melihat bahwa aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran-pemikiran ? Dan pada waktu itu tidak ada aliran teologi lain yang teratur sebagai gantinya untuk menjadi pegangan mereka. Dengan kata lain, tidaklah mungkin bahwa Al-Asy’ari melihat bahayanya bagi umat Islam kalau mereka ditinggalkan tidak mempunyai pegangan teologi yang teratur. Rasanya hal inilah, ditambah dengan perasaan syak tersebut diatas yang mendorong Al-Asy’ari untuk meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan membentuk teologi baru setelah puluhan tahun ia menjadi penganut setia aliran Mu’tazilah.
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal. Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
Al-Hafiz Ibn `Asakir meriwayatkan di dalam kitabnya Tabyin Kadzib al-Muftari dan al- Hakim meriwayatkan dalam kitabnya al-Mustadrak sebab turun QS. al-Ma’idah: 54, lalu Rasulullah saw bersabda: “Mereka kaummu wahai Abu Musa”, dan Rasulullah saw menunjukkan dengan tangan baginda kepada Abu Musa al Asy`ari”. Al-Hakim menghukumkan hadis di atas sebagai hadis sahih `ala shahih Muslim. Hadis di atas juga diriwayatkan oleh al-Tabari dalam kitab tafsirnya, Ibn Abi Hatim, Ibn Sa`d dalam kitabnya al-Tabaqat al-Kubra dan al-Tabrani dalam kitab al-Mu`jam al-Kabir. Al-Hafiz al-Haythami berkata di dalam kitabnya Majmu` al-Zawa’id bahawa rijal hadis tersebut adalah rijal al-sahih. Al-Imam al-Qurtubi berkata di dalam kitab tafsirnya (al-Tafsir al-Qurtubi) jilid. VI, halaman. 220: “Al-Qushayri berkata: “Maka para pengikut Abu al-Hasan al-Asy`ari adalah termasuk kaumnya kerana setiap tempat yang disandarkan di dalamnya oleh suatu kaum kepada seseorang nabi maka maksudnya ialah para pengikut”.[5]
Berkaitan dengan hadis yang mempunyai maksud yang sama dengan hadis di atas yaitu dengan lafaz yang mafhumnya: “Mereka adalah kaum lelaki ini” sambil Nabi sallallahu`alaihi wasallam mengisyarat tangannya kepada Abu Musa al-Asy`ari.” Rasulullah sallallahu`alaihi wa sallam bersabda: Maksudnya:“Mereka adalah kaum orang ini.”[Diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak]. Apabila negara Islam berkembang luas, berlaku perbincangan antara saudara-saudara baru mengenai agama. Antara topik yang terpenting adalah membicarakan masalah akidah. Hasil daripada beberapa perbincangan, lahir berbagai-bagai fahaman yang berpandukan logik. Akibatnya, ada yang terpesong dalam memahami teks al-Quran yang sebenar. Walau apapun berlaku, Allah berjanji memelihara agamanya dengan melahirkan sarjana yang mempertahankan akidah yang tulen. Antara sarjana-sarjana itu adalah Imam Abu Hasan al-Asy’ari.
Abu Hasan al-Asy’ari dilahirkan di Basrah pada tahun 260 Hijrah. Beliau pernah berpegang pada fahaman Muktazilah dan berguru kepada ayah tirinya Abu Ali aljubbai. Selepas berusia 40 tahun, beliau berfikiran matang dan tekun mengkaji secara mendalam. Pada suatu hari, beliau berdebat dengan ayah tirinya dalam mengenai kehidupan selepas mati. Selepas berdebat dengan ayah tiri beliau, Abu Hasan al-Asy” ari bangun berucap di Masjid Basrah lalu mengisytiharkan dirinya keluar daripada fahaman Muktazilah dan berpegang pada Ahli Sunnah wal Jamaah. Abu Hasan al-Asy’ari membuat pembaharuan dalam aliran Ahli Sunnah dengan mengemukakan hujah-hujah logik akal serta teks-teks al-Quran dan hadis yang ada. Hujah-hujah yang dikumpulkan cukup kuat bagi mematahkan hujah Muktazilah yang pesat berkembang pada masa itu. Beliau berjaya mengumpulkan ramai murid dan pengikut. Kemudian, lahir golongan Ahli Sunnah wal Jamaah dikenali sebagai Asya’irah iaitu golongan pengikut fahaman Abu Hasan al Asy’ari.

Antara teori Abu Hasan al-Asy’ari adalah mengemukakan 13 sifat yang wajib bagi Allah secara terperinci yaitu:
1. Ada
2. Bersedia
3. Kekal
4. Berlawanan dengan sesuatu yang baru
5. Berdiri dengan sendirinya
6. Satu
7. Berkuasa
8. Berkehendak
9. Mengetahui
10. Hidup
11. Mendengar
12. Melihat
13.Berkata-kata
Beliau juga menguraikan perkara taklid yaitu mengambil pendapat orang lain tanpa hujah yang menguatkannya ataupun tidak dalam perkara yang berkaitan dengan sifat-sifat itu. Beliau menghuraikan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan kepercayaan pada rukun-rukun iman. Aliran Asya’irah ini berkembang dengan pesatnya di Iraq. Kemudian, ia berkembang di Mesir pada zaman Salahuddin al- Ayubi, di Syiria dengan sokongan Nuruddin Zanki, di Maghribi dengan sokongan Abdullah bin Muhammad, di Turki dengan sokongan Uthmaniah dan di daerah-daerah yang lain. Ideologi ini juga didokong oleh sarjana-sarjana di kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafie dan Hanbali. Antara mereka adalah al-Asfaraini, al -Qafal, aljarjani dan lain-lain sehingga sekarang. Pembaharuan yang dibawa oleh Abu Hasan al-Asy’ ari adalah dengan mengemukakan hujah logik dengan disertakan hujah teks al-Quran dan hadis Nabi Muhammad. Hujah-hujah ini membawa kekuatan kepada Ahli Sunnah wal Jamaah bagi menghadapi hujah golongan Muktazilah yang pesat berkembang dan mendapat sokongan daripada pemerintah-pemerintah kerajaan Abbasiah. Akhirnya, golongan Muktazilah bukan sahaja dibendung dengan hujah, tetapi kerajaan yang ditubuh kemudiannya memberi sumbangan politik yang besar bagi mempertahankan dan mengembangkan fahaman Asya’ irah. Di samping itu, lahir tokoh sarjana Islam yang menyambung aliran fahaman ini seperti Abu Abdullah bin Mujahid, Abu Hasan al-Bahili, Abu Bakar bin al-Taib al Bakilani, Abu Bakar bin Furak, Abu Ishak al-Asfiraini, Abu Muhammad aljuwaini, Abu Mazfir al-Asfaraini, Imam al-Haramain aljuwaini, Hujah Islam Imam al-Ghazali, dan Imam Fakruddin al-Razi.[6]
Imam Abu Hasan al-Asy’ari juga meninggalkan beberapa buku yang dikarangnya dan yang masih ada pada zaman sekarang antaranya Al-Ibanah Min Uslul Diniati. Dalam buku ini, beliau menyokong dengan tegas kepada Imam Ahmad bin Hanbal yang dipenjara dan didera oleh kerajaan Abbasiah yang menyokong Muktazilah pada zamannya. Begitu juga dalam buku AJ-Luma ‘ Fir Raddi ‘Ala Ahlil Zaighi wal Bid ‘i beliau mendedahkan hujah logik dan teks. Buku Maqalatul Islamiyiin mendedahkan fahaman-fahaman yang timbul dalam ilmu Kalam dan menjadi rujukan penting dalam pengajian fahaman-fahaman akidah. Buku Istihsan al-Khaudhi Fil Ilmu Kalam pula adalah risalah kecil bagi menolak hujah mereka yang mengharamkan ilmu Kalam. Walaupun ada di kalangan sarjana Islam terutamanya di kalangan mazhab Hanbali yang menyanggah beberapa hujah dan kaedah yang dibawa oleh Abu Hasan Asy’ ari, ia tidak menafikan jasanya mempertahankan fahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah. Fahaman beliau berjaya mematikan hujah-hujah Muktazilah yang terpesong jauh iaitu membicarakan al-Quran sebagai kata-kata Allah yang kekal, isu melihat Allah pada hari Kiamat, membetulkan perkara yang berhubung dengan Qadak dan Qadar dan lain-lain dan menjadi golongan pertama yang menamakan Ahli Sunnah Wal Jamaah di tengah-tengah kelahiran pelbagai fahaman pada zamannya. Imam Abu Hasan Asy’ari meninggal dunia pada tahun 324 Hijrah dengan meninggalkan pusaka ilmu yang terdiri daripada buku-buku karangan beliau serta murid-murid yang meneruskan perjuangannya. Akhirnya, ia meninggalkan aliran pengajian akidah yang dianuti oleh sebahagian besar umat Islam hari ini dalam melanda cabaran-cabaran baru yang tidak ada pada zamannya. Seterusnya aliran ini memerlukan pembaharuan lagi dalam mengemukakan hujah-hujah kontemporari bagi mempertahankan akidah yang sebenar.[7]
B. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya[8].

c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
Ø  takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
Ø  ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
Ø  tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
Ø  tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.[9]
C.  Tokoh-tokoh Dan Ajaran-ajaranya
1. Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili.. beliau wafat di Bagdad pada tahun 1013 Masehi.
Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari, misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataannya mengarah pada extrim, dalam mengikuti suatu pendapat dan dalam memberikan dukungan dan pembelaan, sebab premis rasional tidak pernah disebutkan dalam al-Qur’anmaupun sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar. Metode yang ditempuhnya juga banyak. Boleh saja seseorang sampai kepada bukti-bukti dari berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi melalui berbagai eksperimen yang tidaklah buruk selama tidak bertentangan dengan konklusi yang dicapainya dan pemikiran yang dihasilkannya.
2. Abd al-Malik al-Juwaini
Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah. Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain. Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.  
3. Abu Hamid al-Ghazali
Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111 Masehi.  Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat Tuhan dan mempunyai wujud diluar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi.[10]
Selanjutnya ia-pun menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.
D. Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari.
            Formulasi pemikiran Al-Asy’ari secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah disisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampak sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalh berikut ini:
a.      Tuhan dan sifat-sifatNya.
Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa menesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok Mujassimah dan kelompok musyabihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat yang disebutkan dalam Al-qur’andan sunnah dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiahnya. Di lain pihak ia berhadapan dengan kelompok mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensiNya. Adapun tangan, kaik, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak bisa diartikan secra harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan, kakidan ini tidak bolwh diartikan secra harfiah, melainkan secra simbolis. Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya tidak terpisah dari esensiNya.
b.      Kebebasan dalam berkehendak
Dalam ghal apakah manusia memiliki kemampuan untuik memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat yangb ekstrim, yakni Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendaat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-Asyari membedakan antaa khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khalik) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c.       Akal dan wahyu dan ritria baik dan  buruk
Walapun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbrda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutanakan wahyu, sementara Mu’tazilah megutamakan akal. Dala menentukan bak burukpun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasar pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berdasar pada akal.
d.      Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapka pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-Rur’an mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (mkhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan madzab hambali dan zahiriyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dala rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling berama tentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan sesuai dengan ayat:
$yJ¯RÎ) $uZä9öqs% >äóÓy´Ï9 !#sŒÎ) çm»tR÷Šur& br& tAqà)¯R ¼çms9 `ä. ãbqä3uŠsù ÇÍÉÈ  
“ Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.”(Q.S. An-Nahl:40)
e.       Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan muktazilah yang mengingkari ru’yatullah atau melihat Allah di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah yakin dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan kemungkinan ru’yah dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atu bilaman ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.
f.       Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian jelaslah bahwa mu’tazilah mengartikan keadilan dari visimanusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
g.      Kedudukan orang berdosa.
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.[11]


DAFTAR PUSTAKA

Harun,Nasution. 2002. Teologi Islam; Aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan, Jakarta; Universitas Indonesia Press.
Montgomery,Watt. 1999. Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah, Yokyakarta: Tiara Wacana,
Rosihan Anwar, Abdul Rozak.  2003. Ilmu Kalam. Bandung : CV Pustaka Setia
Rozak, Abdul. 2009. Filsafat Ilmu Kalam (Study Ilmu Pemikiran Dalam Islam). Surakarta: Annual Conference




[1] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan, Jakarta; Universitas Indonesia Press, 2002.
[3] Montgomery Watt, 1999. Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah, Yokyakarta: Tiara Wacana,

[4] Rozak, Abdul. 2009. Filsafat Ilmu Kalam (Study Ilmu Pemikiran Dalam Islam). Surakarta: Annual Conference
[5] Rosihan Anwar, Abdul Rozak.  2003. Ilmu Kalam. Bandung : CV Pustaka Setia
[7] Harun Nasution, 2002 Teologi Islam; Aliran, Sejarah dan Analisa Perbandingan, Jakarta; Universitas Indonesia Press.
[9] Rosihan Anwar, Abdul Rozak.  2003. Ilmu Kalam. Bandung : CV Pustaka Setia
[11] Rozak, Abdul. 2009. Filsafat Ilmu Kalam (Study Ilmu Pemikiran Dalam Islam). Surakarta: Annual Conference

Tidak ada komentar:

Posting Komentar