Senin, 17 Oktober 2011

PERGANTIAN PIMPINAN DARI MUHAMMAD KE KHULAFAURRASYIDIN MENCIPTAKAN BUDAYA DEMOKRASI, MUSYAWARAH, BUDAYA POLITIK KADERISASI


                                                      MAKALAH
PERGANTIAN PIMPINAN DARI MUHAMMAD KE KHULAFAURRASYIDIN MENCIPTAKAN BUDAYA DEMOKRASI, MUSYAWARAH, BUDAYA POLITIK KADERISASI
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Sejarah Peradaban Islam

Dosen Pengampu Teguh Setyabudi




Oleh
HERI PURNOMO
                                                08620038


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
 MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
              Kematian Rasulullah meninggalkan kesedihan yang mendalam pada diri kaum muslimin.  Rasulullah pun tak memberi tahukan siapa penggantinya sebagai pemimpin umat islam.  Dakwah Islam yang dilakukan Nabi bersama para sahabat sangat luar biasa.  Kekosongan pemimpin ini tidak dapat dibiarkan terlalu berlarut-larut, Karea hal ini akan embahayakan keadaan kaum muslimin.  Oleh karena itu umat muslim segera bermusyawarah untuk menentukan pemimpin umat islam pengganti rasulullah. 
              Pergantian kepemimpinan dari tangan Rasulullah ke tangan sahabat yang dikenal sebagai khalifah (khulafaurrasyidin).  Para khalifah ini tetap menggunakan system pemerintahan sebagaimana yang dilakukan oleh rasulullah.  Para khalifah yang memimpin umat islam antara lain Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar ibn Abu Thalib, Ustman bin Affan, serta Ali bin Abu Thalib.
              Masing-masing khalifah memiliki kekhasan dalam memerintah umat Islam.  Mereka berusaha keras melanjutkan dakwah Nabi ke seluruh alam.  Pentingnya mempelajari sejarah ini agar mahasiswa dapat memperoleh banyak pelajaran hidup dari pengalaman Rasulullah dan Khalifah.
1.2  Tujuan
              Tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain :
·         Sumber informasi sejarah bagi pembaca mengenai masa pemerintahan khalifah
·         Sebagai bahan belajar bagi pembaca




BAB II
ISI
A.    Wafatnya Nabi Muhammad
          Kemajuan Islam yang sangat pesat menandakan bahwa tugas Rasulullah harus segera usai.  Rasulullah merasakan bahwa dirinya harus segera menghadap kembali pada Allah.  Rasulullah melakukan haji Wada’ bersama144.000 jamaah.  Pada hari Sabtu, empat hari terkahir pada bulan Dzulqo’dah Rasulullah melakukan persiapan  untuk menunaikan ibadah haji.  Pada saat itulah Allah menurunkan wahyu terakhir Q.S Al-Maidah ayat 3.  Beliau juga mewasiatkan pesan terakhir pada umatnya sebelum beliau meninggal.
Sekembalinya Nabi Muhammad SAW dari mengerjakan haji Wada’, beliau sering diserang demam dan sakit kepala. Kadang-kadang beliau kelihatan sehat seperti biasa, kemudian sakit kembali. Keadaan beliau berulang kali sampai akhir bulan safar.  Sakit ini disebabkan akibat racun yang diperoleh Nabi ketika perang Khaibar.
Narasumber lain menjelaskan bahwa pada detik-detik terakhir kepergiannya, Rasulullah beri’tikaf selama 20 hari pada bulan Ramadhan 10H, padahal pada hari-hari biasa Rasulullah hanya beri’tikaf selama 10 hari saja (Asul, 2003).
Pada waktu pasukan perang kaum muslimin sudah berada di luar kota Madinah dan tengah menanti komando dari Nabi, tersiarlah berita sakitnya Nabi SAW.  Mereka tidak berani kembali ke Madinah, sebelum ada perintah dari Nabi SAW.  Bahkan, adapula yang berpendapat bahwa sakitnya Nabi tidak menghalangi beliau untuk memerintahkan supaya berangkat ke medan perang. Adapula diantara mereka yang berpendapat bahwa tidak sepantasnya perjalanan ini diteruskan, sebab sebagian sahabat nabi yang tertua dan terdekat dengan beliau, ikut dalam pasukan itu, sedangkan perjalanan yang akan di tempuh sangat jauh dan menghabiskan waktu yang lama. Bukan maksud mereka hendak melambatkan atau mengurungkan tugas, tetapi karena lebih cinta kepada Nabi SAW dari pada diri mereka sendiri.
Pada suatu malam, akhir bulan Safar tahun kesebelas hijriah, Nabi SAW sedang berada di rumah Siti Maimunah r.a. sampai larut malam.  Mata beliau tidak mau terpejam. Beliau bangun dari tempat tidur dan mengajak seorang bujang beliau yang bernama Abu Muwaihibah pergi ke Baqi al- Gharqad (tempat kuburan kaum muslimin yang terletak di luar kota).  Beliau bersabda kepada Abu Muwaihibah:
“ Ya Abu Muwaihibah, sesungguhnya aku di perintahkan supaya meminta ampunan untuk ahli (kubur) Baqi, maka berangkatlah kamu bersamaku sekarang juga”
Dengan patuh Abu Muwaihibah berangkat bersama Nabi SAW menuju Baqi setelah berada di luar perkuburan itu. Beliau pun mengucapkan :
“ Semoga dilimpahkan kesejahteraan atasmu, wahai ahli kubur. Semoga menggembirakanmu apa yang telah terjadi atasmu, dari apa-apa yang telah terjadi pada manusia, jika sekiranya kamu mengetahui apa-apa yang telah di selamatkan Allah untukmu. Fitnah-fitnah telah datang seperti malam gelap gulita, yang datang kemudian lebih buruk dari pada yang terdahulu.”
            Sekembalinya dari Baqi, sakit beliau bertambah parah, kemudian nabi memanggil istri-istri beliau supaya berkumpul di rumah Maimunah.  Dengan tulus dan ikhlas, istri-istri beliau menyetujui permintaan beliau, dan setelah tersiar berita bertambah beratnya sakit Nabi SAW, dan Abu Bakar telah ditunjuk untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat pada setiap waktunya, kaum muslimin di kota Madinah merasa sedih dan susah. Mereka sangat gelisah dan khawatir, kalau  Nabi SAW wafat, dan mereka ditinggalkan oleh oleh pimpinan yang sangat mereka cintai.  Setiap malam kaum Anshar silih berganti berjaga-jaga di sekitar masjid dengan maksud menjaga Nabi SAW, dengan perasaan susah dan prihatin.
Karena panas badan belliau Nabi SAW, makin naik, istri-istri beliau mengerti bahwa keadaan seperti ini, beliau sering menyuruh menyapukan air dingin ke muka dan kepala beliau. Mereka menyediakan bejana yang penuh berisi air dingin, demikianlah, sewaktu-waktu beliau mencelupkan tangan beliau kedalam bejana dan beliau sapukan ke muka dan ke kepala, sekadar untuk mengurangi panas badan beliau. Tetapi sekalipun demikian panas badan badan beliau tidak juga berkurang. Bahkan terus naik. dan terkadang beliau tidak sadar.
Selama beliau sakit, putrid beliau, Fatimah senantiasa menjenguk beliu dengan perasaan yang sangat sedih. Setiap kali ia datang, Nabi SAW senantias menciumnya dan menyuruh duduk di samping beliau, maklumlah, karena anak beliau hanya tinggal Fatimah. Karena yang lain sudah mendahului beliau. Dan Nabi SAW, berkata kepada Fatimah dengan berbisik-bisik, yang menyebabkan Fatimah menangis. Setelah  Nabi SAW, melihat Fatimah menangis, beliau berkata lagi kepadanya dengan berbisik-bisik, sehingga Fatimah tersenyum.  Melihat nabi SAW berbisik-bisik dengan putri beliau, Aisyah yang senantiasa mendampingi beliau merasa curiga karena ia tidak tahu apa yang beliau bisikkan kepada putrinya tersebut. Kemudian bertanyalah Aisyah kepada Fatimah, “ Hai Fatimah, apakah yang di bisikkan Nabi SAW kepadamu?” Fatimah menjawab “Aku tidak akan membuka suatu rahasia yang beliau perintahkan kepadaku dan menyuruhku menyimpan dengan baik-baik.”
Pada hari ahad petang badan Nabi SAW merasa agak segar dan panas badan beliau pun  agak turun.  Dan beliu merasa bahwa penyakit beliau sudah agak ringan sehingga pada hari senin pagi, menjelang subuh Nabi SAW pergi ke masjid untuk mengerjakan shalat berjamaah.dengan dituntun perlahan-lahan oleh Ali dan Fadhal, Nabi SAW keluar dari kamar dengan kepala masih tetap diikat dengan sehelai kain.  Setelah kaum muslimin melihat beliau maka orong muslimin berbondong-bondong datang ke masjid.dan mereka bahagia karena beliau sembuh kembali. Setelah beliau sampai di masjid. Dan Abu Bakar yang sedang mengimami shalat, mundur ke belakang untuk memberi tempat kepada nabi. untuk menggantikannya menjadi imam.  Tetapi Nabi SAW memberi isyarat kepada Abu Bakar supaya ia tetap di tempatnya dan terus mengimami shalat. Nabi SAW sendiri duduk di sebelah kanannya dan shalat dengan duduk.
Setelah kaum muslimin selesai mengerjakan shalat Nabi SAW melihat ke arah mereka dengan tenang dan dengan air mata yang berlinang. Nabi SAW memperhatikan mereka satu- persatu.  Nabi saw bersabda1):
“Hai segenap manusia api neraka sudah dinyalakan, fitnah-fitnah telah datang seperti datangnya malam gelap gulita. Demi Allah kamu tidak akan berpegang kepadaku sesuatu apapun sesungguhnya aku tidaklah pernah menghalalkan sesuatu, melainkan apa yang telh di halalkan oleh Al-Quran dan tidak pula mengharamkan sesuatu, melainkan apa yang telah di haramkan oleh Al-Quran”.[1]
Setibanya Nabi SAW di rumah Aisyah pada hari Senin pagi, diantara waktu subuh dan dhuha, berbaringlah beliau di pangkuan Aisyah karena beliau merasa  lemah. sedang beliau tidak menyadari bahwa ajal beliau hampir tiba.  Nabi SAW menghadapkan muka dan memandang ke atas, sambil mengucapkan berulang-ulang “Tidak ada tuhan melainkan Allah, bahwasannya bagi kematian ada sekarat. Ya Allah, tolonglah aku ada sakarat maut, “beliau mengucapkan kata-kata itu berulang kali. Dengan tenang, beliau mengucapkan “Maha agung Tuhanku Yang Maha Tinggi, sesungguhnya aku telah menyampaikan”.
Setelah beliau mengcapkan perkataan ini, wafatlah beliau. Saat itu beliau masih bersandar di pangkuan Aisyah, istri beliau yang masih termuda. Nabi SAW wafat pada waktu matahari sedang mengarah naik dengan sinarnya yang terang benderang. Pada hari Senin, tanggal 13 Rabiul Awal tahun ke sebelas Hijriah, atau pada tanggal 8 juni 632 Masehi.
Setelah Nabi SAW wafat, Fatimah memberitahukan Aisyah apa yang telah dibisikkan nabi saw kepadanya, Fatimah berkata “ Bisikkan yang pertama, nabi mengatakan bahwa sakit beliau adalah tanda akan wafat. Itulah sebabnya aku menangis. Sesudah itu beliau bisikkan bahwa akulah orang yang pertama di keluarga beliau yang akan menyusul beliau, itulah yang menyebabkan aku tersenym”.
B.     Masa Khalifah
B.1 Budaya Politik Khalifah Abu Bakar (11-13 H/632-634 M)
Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, kaum Muslimin mengadakan pertemuan di Saqifah bani Sa'idah. Mereka membicarakan siapakah sepatutnya yang menggantikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam memimpin kaum Muslimin dan mengurusi persoalan umat. Setelah diskusi, pembahasan, dan pengajuan sejumlah usulan, tercapailah kesepakatan bulat khalifah Rasulullah pertama setelah kematian beliau adalah orang yang pernah menjadi khalifah (pengganti) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mengimami kaum Muslimin pada saat beliau sakit. Itulah ash-Shiddiq sahabat beliau yang terbesar dan pendamping beliau di dalam gua, Abu Bakar Rodhiyallahu 'anhu.
Setelah resmi menjadi khalifah, Abu Bakar segera memberangkatkan pasukan Usamah. Pasukan itu tertahan setelah sampai di sebuah tempat dekat Madinah bernama Dzu Khasyab, tempat ketika Usamah mendapat berita tentang sakitnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Bakar tidak mempedulikan pendapat-pendapat yang mendesak agar pasukan Usamah dibekukan mengingat tersebar luasnya kemurtadan di sebagian barisan. Sebagaimana juga beliau tidak memedulikan pendapat-pendapat yang menghendaki penggantian Usamah dengan orang lain.
Abu Bakar ash-Shiddiq Rodhiyallahu 'anhu berangkat mengantarkan pasukan yang dipimpin Usamah dengan berjalan kaki. Ketika Usamah bermaksud turun dari kendaraannya agar dinaiki oleh Abu Bakar, ia berkata kepada Usamah,"Demi Allah, engkau tidak perlu turun dan aku tidak usah naik." Selanjutnya Abu Bakar menyampaikan wasiat kepada pasukan untuk tidak berkhianat, tidak menipu, tidak melampaui batas, tidak mencincang musuh, tidak membunuh anak-anak atau wanita atau orang lanjut usia, tidak memotong kambing atau unta kecuali untuk dimakan.
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh khalifah Abu Bakar As-Shidiq antara lain yaitu : Orang–orang musyrik, orang–orang munafik, orang yang murtad yang mengaku Nabi. Sepeninggal Nabi, banyak umat islam yang lemah imannya tergoyahkan untuk tidak mau mengeluarkan zakat, terutama orang-orang kaya.  Marak pula munculnya nabi-nabi palsu.
Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah SAW bersifat sentral, karena kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah. Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri seperti menumpas Nabi Palsu, orang yang ingkar membayar zakat dan lain-lainnya, barulah mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid dikirim ke Irak dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syiria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat Jendral yaitu Abu Ubaidah, Amru bin Ash, Yazid ibn Abi Sufyan, dan Syurabit. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun.
Untuk memperkuat tentara ini, Kholid bin Walid diperintahkan meninggalkan Iraq, melalui gurun Pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syiria. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khatob sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Iraq, dan kerajaan Hira.
            Abu Bakar wafat pada tahun ke-13 Hijriah, malam Selasa, tanggal 23 Jumadil Akhir pada usia 63 tahun. Masa khalifahnya 2 tahun, 3 bulan, dan 3 hari. la dikubur di rumah Aisyah Rodhiyallahu 'anha di samping kubur Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.
Menjelang wafatnya, Abu Bakar meminta pendapat sejumlah sahabat generasi pertama yang tergolong ahli syura.  Mereka seluruhnya sepakat untuk mewasiatkan khalifah sesudahnya kepada Umar ibnul Khaththab Rodhiyallahu 'anhu.  Dengan demikian, Abu Bakar merupakan orang yang pertama mewasiatkan khalifah sepeninggalnya kepada orang yang sudah ditunjuk dan mengangkat khalifah berdasarkan wasiat tersebut.
Nabi Muhammad Saw  tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin,  Musyawarah berjalan alot karena masing-masing pihak baik Muhajirin maupun Anshar merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Dengan semangat Ukhuah Islamiah yang tinggi akhirnya, terpilihlah Abu Bakar.
Sebagai pemimpin umat Islam  setelah rasul, Abu Bakar disebut Khalifah rasulillah (Pengganti rasul) yang dalam perkembangannya disebut kholifah saja. Kholifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintah.
Abu Bakar menjadi kholifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintahan Madinah.
Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah.  Ia digantikan oleh “tangan  kanannya”  Umar bin Khathab.  Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarahdengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya.
B.2 Budaya Politik dan Ekspansi Khalifah Umar bin Khattab (13 – 23 H/634 – 644 M)
Di samping ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya Umar Ibnul Khattab r.a. terkenal sebagai orang yg bertabiat keras tegas terus terang dan jujur. sejak memeluk Islam , ia menyerahkan seluruh hidupnya untuk kepentingan Islam dan muslimin. Baginya tak ada kepentingan yg lebih tinggi dan harus dilaksanakan selain perintah Allah dan Rasul-Nya.
Kekuatan fisik dan mentalnya, ketegasan sikap dan keadilan­nya ditambah lagi dengan keberaniannya bertindak membuat­nya menjadi seorang tokoh dan pemimpin yang sangat dihormati dan disegani baik oleh lawan maupun kawan. Sesuai dengan tau­ladan  yang diberikan Rasul Allah S.A.W. ia hidup sederhana dan sangat besar perhatiannya kepada kaum sengsara terutama mereka yang diperlakukan secara tidak adil oleh orang lain. Bila Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. menjadi Khalifah melalui pemilihan kaum muslimin maka Umar Ibnul Khattab r.a. dibai’at sebagai Khalifah berdasarkan pencalonan yg diajukan oleh Abu Bakar r.a. beberapa saat sebelum wafat.  Masa kekhalifahan Umar Ibnul Khattab r.a. berlangsung selama kurang lebih 10 ta­hun.
Pada zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi, ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M. Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh negara-negara yang sudah berkembang seperti, di Persia.
Di bawah pemerintahannya wilayah kaum muslimin bertam­bah luas dengan  kecepatan luar biasa. Seluruh Persia jatuh ke tangan kaum muslimin. Sedangkan daerah-daerah kekuasaan By­zantium seluruh daerah Syam dan Mesir satu persatu bernaung di bawah bendera tauhid. Penduduk di daerah-daerah luar Semenan­jung Arabia berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dengan demikian lslam bukan lagi hanya dipeluk bangsa Arab saja tetapi sudah rnenjadi agama berbagai bangsa.
Sukses gilang-gemilang yang tercapai tak dapat dipisahkan dari peranan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. sebagai pemimpin. Ia banyak mengambil prakarsa dalam mengatur administrasi pemerintahan sesuai dengan tuntutan keadaan yang sudah ber­kembang. Demikian pula di bidang hukum. Dengan berpegang te­guh kepada prinsip-prinsip ajaran Islam dan dengan  memanfaat­kan ilmu-ilmu yg dimiliki para sahabat Nabi Muhammad s.a.w.
Tetapi bersamaan dengan datangnya berbagai sukses seka­rang kaum rnuslimin sendiri mulai dihadapkan kepada kehidupan baru yang penuh dengan tantangan-tantangan. Dengan adanya wilayah Islam yang bertambah luas dengan banyaknya daerah­-daerah subur yang kini menjadi daerah kaum muslimin serta dengn kekayaan yang ditinggalkan oleh bekas-bekas penguasa lama kaum muslimin Arab mulai berke­nalan dgn keni’matan hidup keduniawian.
Hanya mata orang yang teguh iman sajalah  yang tidak silau melihat istana-istana indah , kota-kota gemerlapan,  ladang-ladang subur menghijau , dan emas perak intan-berlian berkilauan. Kaum muslimin Arab sudah biasa menghadapi tantangan fisik dari musuh-musuh Islam yang hendak mencoba menghancurkan mereka tetapi kali ini tantangan yg harus dihadapi jauh lebih berat yaitu tantangan nafsu syaitan yang tiap saat menggelitik dari kiri-kanan muka-belakang.
Tantangan berat itulah yg mau tidak mau harus ditanggu­langi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. Berkat ketegasan sikap kejujuran dan keadilannya dan dengan dukungan para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang tetap patuh pada tauladan beliau Khalifah Umar r.a. berhasil menekan dan membatasi sekecil-­kecilnya penyelewengan yang dilakukan oleh sementara tokoh kaum muslimin. Pintu-pintu korupsi ditutup sedemikian rapat dan kuatnya. Tindakan tegas dan keras cepat pula diambil terha­dap oknum-oknum yang bertindak tidak jujur terhadap kekayaan negara. Sudah tentu ia memperoleh dukungan yang kuat dari se­mua kaum muslimin yang jujur sedangkan oknum-oknum yang berusaha keras memperkaya diri sendiri keluarga dan golongannya pasti melawan dan memusuhinya.
Selama berada di bawah pemerintahan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. musuh-musuh kaum muslimin memang tidak dapat berkutik. Namun bahaya latent yang berupa rayuan kesenangan hidup duniawi tetap tumbuh dari sela-sela ketatnya pengawasan Khalifah.
Dalam menghadapi tantangan yang sangat berat itu Khalifah Umar r.a. tidak sedikit menerima bantuan dari Imam Ali r.a. Dalam masa yang penuh dengan tantangan mental dan spiritual itu Imam Ali r.a. menunjukkan perhatiannya yang dalam.
Dengan kekhalifahannya. itu Umar Ibnul Khattab r.a. telah menanamkan kesan yang sangat mendalam di kalangan kaum mus­limin. Ia dikenang sebagai seorang pemimpin yang patut dicontoh dalam mengembangkan keadilan. Ia sanggup dan rela menempuh cara hidup yang tak ada bedanya dengan cara hidup rakyat jelata. Waktu terjadi paceklik berat sehingga rakyat hanya makan roti kering ia menolak diberi samin oleh seorang yang tidak tega me­lihatnya makan roti tanpa disertai apa-apa. Ketika itu ia menga­takan: “Kalau rakyat hanya bisa makan roti kering saja aku yg bertanggung jawab atas nasib mereka pun harus berbuat seperti itu juga.”
Umar memerintah selama 10 tahun (13-23 H/ 634-644 M). Masa jabatannya berakhir denga kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’luah. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk 6 orang sahabat dan meminta mereka untuk memilih salah seorang untuk menjadi kholifah. Melalui persaingan yang agak ketat akhirnya terpilihlah Utsman bin Affan sebagai kholifah selanjutnya.

B.3 Budaya Politik dan Ekonomi Khalifah Utsman bin Affan (23 – 35 H/ 644 – 656 M)
Dimasa pemerintahan Utsman (644-655M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai disini.
Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun. Pada paroh terakhir masa kekhalifahannya, muncul perasaan tidak puas dan kecewa dikalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena umurrya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya, pada tahun 35H/ 655M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijakannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tertinggi. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, usman laksana boneka di hadapan kerabatnya. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahannya. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh usman sendiri.
Utsman bin Affan, salah satu shahabat Nabi Muhammad dan dikenal sebagai khalifah Rasulullah yang ketiga. Pada masa Rasulullah masih hidup, Utsman terpilih sebagi salah satu sekretaris Rasulullah sekaligus masuk dalam Tim penulis wahyu yang turun dan pada masa Kekhalifahannya Al Quran dibukukan secara tertib. Utsman juga merupakan salah satu shahabat yang mendapatkan jaminan Nabi Muhammad sebagai ahlul jannah. Kekerabatan Utsman dengan Muhammad Rasulullah bertemu pada urutan silsilah ‘Abdu Manaf.   
Rasulullah berasal dari Bani Hasyim sedangkan Utsman dari kalangan Bani Ummayah. Antara Bani Hasyim dan Bani Ummayah sejak jauh sebelum masa kenabian Muhammad, dikenal sebagai dua suku yang saling bermusuhan dan terlibat dalam persaingan sengit dalam setiap aspek kehidupan. Maka tidak heran jika proses masuk Islamnya Utsman bin Affan dianggap merupakan hal yang luar biasa, populis, dan sekaligus heroik. Hal ini mengingat kebanyakan kaum Bani Ummayah, pada masa masuk Islamnya Utsman, bersikap memusuhi Nabi dan agama Islam.
Utsman Bin Affan terpilih menjadi khalifah ketiga berdasarkan suara mayoritas dalam musyawarah tim formatur yang anggotanya dipilih oleh Khalifah Umar Bin Khaththab menjelang wafatnya. Saat menduduki amanah sebagai khalifah beliau berusia sekitar 70 tahun.  Pada masa pemerintahan beliau, bangsa Arab berada pada posisi permulaan zaman perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi disebabkan aliran kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring dengan semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama. Faktor-faktor ekonomi semakin mudah didapatkan. Sedangkan masyarakat telah mengalami proses transformasi dari kehidupan bersahaja menuju pola hidup masyarakat perkotaan.
Dalam manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis.  Hal ini memicu penilaian ahli sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut. Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagi alasan motif nepotisme tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Muawiyah Bin Abu Sufyan yang menjabat sebagi gubernur Syam, Beliau termasuk Shahabat Nabi, keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.
  2. Pimpinan Basyrah, Abu Musa Al Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman.
  3. Pimpinan Kuffah, Sa’ad Bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid Bin ‘Uqbah, saudara tiri Utsman. Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id Bin ‘Ash. Sa’id sendiri merupakan saudara sepupu Utsman.
  4. Pemimpin Mesir, Amr Bin ‘Ash, diganti dengan Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, yang masih merupakan saudara seangkat ( dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau bahkan saudara sepupu) Utsman.
  5. Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris Negara.
6.      Khalifah dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, kepada Mirwan bin Al Hakkam, dan kepada Al Harits Bin Al Hakam.
Beberapa penulis Muslim mencoba melakukan rasionalisasi bahwa tindakan Utsman tersebut bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan sebuah upaya pembelaan terhadap tindakan Utsman tidak atau bahkan sama sekali jauh dari motif nepotisme. Sebagai contoh salah satu bentuk rasionalisasi menyebutkan bahwa Utsman mengangkat wali-wali negeri dari pihak keluarga beralasan untuk memperkuat wilayah kekuasaannya melalui personal yang telah jelas dikenal baik karakteristiknya. Hal ini mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Utsman semakin meluas. Demikian juga tanggungjawab dakwah dimasing-masing wilayah tersebut.
B.4 Budaya Politik dan Ilmu Khalifah Ali bin Abu Thalib (35 – 40 H/656 – 661 M)
Setelah kematian khalifah Usman bin Affan, kaum muslimin berada dalam kesedihan yang mendalam.  Kaum pemberontak yang dipimpin oleh al Ghafiqi dari Mesir bermaksud mengadakan pendekatan kepada Ali bin Abu Thalib, namun Ali menolak tawaan itu.  Ditambah lagi beberapa kalangan terutama dari Bani Umayyah menolak untuk membaiat Ali. 
Keadaan serba sulit ini memaksa Ali untuk bersedia dibaiat.  Umat Islam saat itu tidak boleh dibiarkan terlalu lama tanpa adanya pemimpin.  Bila hal ini tetap dibiarkan, akan terjadi keadaan yang tidak diinginkan.   Akhirnya Ali bin Abu Thalib bersedia dibaiat pada hari Senin 21 Zulhijjah 35/20 Juni 656 di sebuah masjid.  Orang pertama yang membaiat Ali adalah Thalhah bin Ubaidillah.  Setelah Ali bin Abu Thalib dibaiat sebagai khalifah bukan berarti masalah selesai.  Bani Umayyah seolah semakin mendapat alasan untuk menuntut kematian Usman bin Affan.
Setelah pelantikan Ali mulai melaksanakan tugasnya sebagai khalifah.  Hal pertama yang ia lakukan adalah mengganti beberapa gubernur, diantaranya mengangkat Usman bin Hunaif al anshari untuk Bashrah, Sahl bin Hunaif untuk Syam mengantikan Muawiyah, dan Qais bin saad bin Ubadah untuk Mesir.  Ketiga orang pengganti itu adalah kalangan Anshar.   Ali berpendirian bahwa sumber kekacauan pada masa Usman adalah karena gubernur.
Muawiyah tetap bersikukuh tidak mau membaiat Ali bin Abu Thalib.  Alas an pertama adalah tuntutan Muawiyah atas para pembunuh Usman harus terlebih dahulu ditangkap dan dihukum. Kedua karena tak ada suara bular dari kalagan tearkemukan muslimin. 
Muawiyah memiliki banyak mata-mata di Irak untuk membujuk orang dengan diam-diam.  Sebaliknya, Ali sedikit pun tak membayangkan akan melakukan hal serupa.  Ambisi Ali untuk memegang amanah kuat kuat dan menaati janji yang telah dibuatnya dengan siapapun.  Muawiyah tetap bersikap hendak bertahan di Damsyik.  Ia mengundang pemuka Syam dan pemimpian militer dengan mengemukakan malsud Ali sekaligus mendramatisasi pembunuhan atas Khalifah Usman dengan mempertontonkan baju perang Khalifah yang berlumuran darah dan potongan jari istri khalifah. 
Untuk mengatasi hal ini, Ali memindahkan ibu kota ke Kuffah.  Karena suasana di Basrah sudah tidak kondusif lagi.  Kufah kemudian tumbuh menjadi kota intelektual dan kebudayaan Islam, pusat studi bahasa arab, fisiologi dan pertumbuhan sastra.  Selama masa pemerintahan Muawiyah, Kufah adalah kota penuh dengan pergolakan. 
          Puncak pemberontakan Thalhah, Aisyah dan Zubair adalah saat terjadi perang Jamal.  Disebut perang Jamal, karena saat peperangan, Aisyah berperang dengan menunggangi kuda.  Kemengangan berada di pihak Ali.  Sedangkan puncak pemberontakan Muawiyah berada pada perang Shiffin.  Kemenangan hamper berada di tangan Ali, tetapi berkat politik dari Muawiyah yang mengangkat Al-Qur’an sebagai tanda damai, menyebabkan pasukan muslim terpecah menjadi berbagai golongan.  Pasukan yang tetap membela Ali dan pasukan yang kembali (khawarij) dan tidak mau lagi berperang membela amirulmukminin.  Akibatnya, kemenangan berada di tangan Muawiyah.  Tahkim pun dilakukan, yang dipimpin oleh Amr bin Ash, dia mengokohkan untuk menurunkan jabatan khalifah Ali dan jabatan Muawiyah, serta menyerahkan pemilihan pemimpin di tangan umat.  Dengan ini bertakhirlah masa pemerintahan khalifah, dan diganti oleh kekuasaan Bani Umayyah.  Bentuk pemerintahan menjadi distem kerajaan dan kekuasaan dialihkan secara turun-temurun.  Tidak ada lagi budaya musyawarah sebagaimana dilakukan pada masa khulafaurrasyidin dan Rasulullah.  Khalifah Ali dibunuh pada tanggal 17 Ramadhan dan wafat pada  20 Ramadhan 40 H/ 24 Januari 661 M pada usia 63 tahun.  Sebelum meninggal, Ali berwasiat kepada putranya Hasan dan husein untuk bertakwa kepada Allah, tidak mengejar dunia, jangan menyesali sesuatu yang sudah lepas, dan jangan membunuh orang yang membunuh kecuali pembunuhnya dan tak menyiksanya terlebih dahulu.
                          















BAB III
PENUTUP
1.1  Kesimpulan
·         Rasulullah wafat pada hari Senin, tanggal 13 Rabiul Awal tahun ke sebelas Hijriah, atau pada tanggal 8 juni 632 Masehi
·         Khalifah pertama pengganti Rasulullah adalah Abu Bakar Ash-shidiq
·         Khalifah kedua pengganti Rasulullah adalah Umar bin Khattab
·         Khalifah ketiga pengganti Rasulullah adalah Ustman Bin Affan
·         Khalifah keempat pengganti Rasulullah adalah Ali Bin Abi Thalib


1.2  Saran













DAFTAR PUSTAKA
Asul Al-Mubarakfury, Shafiyyurrahman.2003. Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir. Jakarta: Darul Haq.
Audah, Ali. 2007. Ali bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan dan Husen. Jakarta Litera Antar Nusa
Chalil, Moenawar. 2001. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad. Jakarta: Gema Insani Pers
Djabbar, Umar Abdul. 1999. Nurul Yaqin Sejarah Nabi Muhamnmad. Surabaya: Ahmad Nabhan
Yatim, Badri. 1993. Sejarah peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Raja Grafindo


[1] Asul Al-Mubarakfury, Shafiyyurrahman. Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir. Jakarta: Darul Haq, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar